Dalam Doa Ibu

Dalam Doa Ibu

Sebut saja aku sangat nakal sewaktu sekolah, mengenakan seragam putih abu dengan impian yang sangat liar. Tapi, kehidupan di rumah jauh berbeda. Kamu tahu seperti apa rasanya dipingit? Iya dipaksa harus tetap tinggal dalam rumah dan hanya keluar untuk mengerjakan sesuatu yang penting demi kehidupan. Sebut saja sesuatu itu sekolah dan selain sekolah bukan sesuatu.
Kata Ibu, beliau akan selalu tahu jika aku berbohong. Meski aku tidak merasakan seperti layaknya Pinokio yang memanjang hidungnya kala berbohong. Tapi Ibu tahu, sangat tahu melebihi aku, jika kebohongan itu sudah tercium. Aku memang kurang lihai dalam berbohong. Tidak seperti adikku, Kiki.

Siang itu aku sudah tidak tahan menikmati liburan sekolah hanya bersemayam di dalam ruangan yang membuatku terlindung dari tatapan curiga Ibu. Ruangan itu kamarku, yang terdiri buku-buku, radio, tempat tidur dan meja belajar. Seluruh tugas selama liburan bahkan sudah tamat aku kerjakan, dua minggu liburan sekolah dan sudah cukup aku habiskan dengan membaca buku yang sudah berulang kali aku baca. Aku ingin main, sangat ingin bermain. Sehingga siang itu, aku merencanakan sesuatu.

Aku berpamitan pada Ibu, mengatakan padanya bahwa aku harus datang untuk belajar bersama dengan temanku yang rumahnya berada di Jembatan Tujuh. Rumahku berada di Jembatan Tiga belas, tidak begitu jauh jaraknya dari rumahku. Seperti biasa, jika diam adalah jawabannya aku harus menerka sendiri apakah Ibu mengizinkan atau tidak. Dan aku menyimpulkan diamnya Ibu adalah setuju. Segeralah aku bergegas merapikan buku yang perlu untuk menjadi sebuah alibi serta mengganti pakaian yang santai agar tidak terlalu mengundang curiga.

“Ingat ya, Ibu selalu tahu kamu bohong. Kalau kamu bohong, kamu pulang kehujanan.” Kata-kata itu terus terngiang selama aku melangkah pergi. Namun tertepis kala melihat mentari justru bersinar terik dan tak menandakan adanya mendung menggelayut.

Aku berjalan dengan riang dan santai, menanti di bawah pohon Asam mobil Angkutan Umum berwarna merah. Dari jauh mobil sudah berjalan pelan menuju kearahku. Hatiku riang gembira tak tertahankan. Bagaimana mungkin aku tahan menikmati liburan di rumah saja tanpa melakukan kegiatan apapun. Mobil Angkutan atau Angkot sudah datang, aku naik ke dalam dan duduk dengan tenang. Siang itu justru aku sudah menyiapkan diri untuk bermain ke rumah temanku yang berada di Narogong. Tempatnya juga tidak begitu jauh dari rumah.

Hanya saja aku perlu mengganti Angkot nanti untuk sampai kerumahnya. Tidak sabar rasanya aku ingin bermain bersama temanku, curhat, serta membaca koleksi bukunya yang sangat banyak itu. Mobil berjalan sangat lambat, karena rumahku terletak dekat dengan Pangkalan Angkot, jadi aku memang harus bersabar agar bisa cepat sampai ke rumah temanku itu.

Sinar mentari masih terik, aku mengibaskan buku dan kujadikan kipas sementara untuk mengusir rasa panas. Sampai di Jembatan sebelas, mentari sedikit tertutup awan, tidak lagi terlalu terik. Aku menikmati perjalanan sambil memperhatikan orang-orang yang tengah beraktifitas siang itu. Tidak lama di Jembatan tujuh, rintik hujan mengejutkanku. Aku lupa membawa payung, kemudian keringat dingin membasahiku. Aku teringat dengan pesan Ibu, merasa sangat bersalah dan ketakutan.

Keinginanku untuk bermain justru menghilang dalam sekejap. Akhirnya, karena ketakutanku bertambah parah, beragam pikiran berkecamuk, seperti ketakutan ketika justru aku bertanya, bagaimana jika aku mati seketika di dalam mobil ini. Atau bagaimana kalau aku bertemu dengan orang jahat. Ribuan pikiran yang membuatku kalut akhirnya menghentikan keinginanku. Setelah aku meminta Supir Angkot untuk berhenti di pinggir jalan dan aku memilih untuk menanti Angkot lain yang berlawanan arah untuk mengantarku pulang. Hujan deras mengguyur, aku kebasahan. Bajuku bahkan seperti cucian yang belum diperas. Mobil datang dan aku bergegas untuk naik dan tak sabar sampai dirumah.

Benar saja, ketika melihatku basah kuyup, Ibu tersenyum kecil. Namun wajahnya tetap datar seperti biasa. Aku tidak mau mengakui kala Ibu justru mengatakan bahwa aku berbohong. “Aku lupa bawa payung, Bu.” Begitu kilahku, karena jika Ibu tahu aku berbohong, mungkin aku tidak akan diizinkan untuk bermain keluar lagi.

Kini bahkan aku menyadari bahwa itu semua berhubungan dengan ucapan seorang Ibu yang ternyata menjadi Doa mustajab. Karena tanpa perlu menunggu berhari-hari Doa Ibuku langsung dikabulkan. Setelah itu, sebenarnya aku tidak pernah lelah untuk berbohong, namun lebih sering juga aku menuai kebohongan itu. Bahkan aku pernah pulang berjalan kaki sejauh dua kilometer dari Terminal Bekasi, karena aku berbohong pada Ibu dan di sana dompetku dicopet, sehingga aku tidak bisa pulang. Belum lagi aku tidak tahu bagaimana bisa beralasan tentang dompetku pada Ibu. Akhirnya aku pulang berjalan kaki. Tapi setelah kejadian pencopetan aku kapok untuk berbohong pada Ibu.

Bahkan Ibu dengan santainya memberikanku dompet baru dua hari setelah aku kecopetan. Padahal aku tidak memberitahu Ibu, entahlah darimana Ibu mengetahuinya. Bagiku Ibu seperti mata-mata atau detektif yang lebih canggih namun elegan. Detektif yang akan selalu berusaha untuk menjaga anaknya agar tetap aman. Namun, aku tidak lagi berani untuk berbohong karena saat ini justru Doanyalah yang membuatku bisa merasakan kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Doa Ibu seperti obat mujarab pada setiap kesempitan yang aku hadapi. I love you Ibu. J



Ipeh Alena
Ipeh Alena Blogger

Post a Comment

advertise
advertise
advertise
advertise