Carrie White
Carrie bersikeras untuk melangkah, pisau yang masih tertancap di bahunya terasa semakin nyeri. Dia membayangkan pompa air, tiang listrik serta mobil yang kini tengah melayang dari tempatnya. Dengan senyuman sinis, semua itu terjatuh dan melebur menjadi satu. Sue melihatnya dari kejauhan, berjalan mengikuti jejak Carrie seakan mereka telah terhubung dengan sesuatu yang kini membuatnya semakin merasa ketakutan.
Tapi semuanya akan berakhir, entah kenapa Sue
yakin semua akan benar-benar berakhir. Sama seperti para saksi mata yang
melihat cewek aneh dengan balutan gaun yang mulai luntur warnanya, bercampur
noda darah yang bau. Dengan wajah yang sangat menakutkan, mereka bisa langsung
mengetahui bahwa itu adalah Carrie White.
Margareth White sadar, semua sudah menjadi
jalan yang Tuhan berikan untuknya. Dalam pikirannya yang berlari menuju masa
lalu, ingatan tentang anak yang tak pernah dia inginkan, Ralph White suaminya
yang pernah dia cintai kemudian berubah menjadi dibencinya. Jantungnya sudah
melemah, mungkin sudah tak berdetak lagi. Tapi dia sendiri terkejut dan kagum
karena otaknya masih bisa memikirkan detik demi detik kehidupan yang pernah dia
lalui. Seperti memutar film lawas dimana pemutarnya terdengar bising, tapi ini
tidak. Terasa sangat damai.
“Dasar bodoh!”
Sue kesulitan melangkah melewati bukit dari
balik reruntuhan rumah yang tertimpa oleh tiang listrik. Carrie kembali
mengangkat mobil di sisi kanan dan kiri, memutarnya bak mainan di pasar malam,
kemudian menabrakannya ke dinding kafe serta toko sepanjang jalan. Mr. Raymond
berlari sambil memeluk anjing kesayangannya, Husky yang setia menatap
majikannya dengan kebingungan yang luar biasa.
“Tenanglah, kita akan terus bersama.”
Bisikan Mr. Raymond membuat Carrie merasa
jijik. Kebersamaan yang justru membuatnya memikirkan tentang kaki kecil milik
Ray, otot berwarna merah yang tengah bekerja dengan cepat, dia membayangkan
otot itu tiba-tiba melilit, lebih kencang, lebih kencang lagi dan kemudian
putus.
Bruk!!
Mr. Raymond terjatuh ketika merasa kakinya
sakit dan nyeri luar biasa. Dia memegang sikunya sambil tak berhenti menahan
tangis.
“Tohh...lohng. Toh..lohng.. Arrghh.”
Giginya gemelutuk menahan rasa sakit, Husky
melolong pedih melihat Raymond tak berdaya. Carrie menyunggingkan senyumannya,
ini adalah pembalasan untuk para Pendosa, ini adalah waktu yang tepat untuk
menebus segala Dosa, darah juga malam Prom Nite yang membuat dirinya merasa
hancur. Juga Momma yang kini mungkin telah berada dalam pelukan Tuhan.
“Carrie kau menjijikkan!”
Bayangan itu terus berputar di otak Sue. Dia
merasa mual sekali, beban yang dirasanya akan berkurang, justru kini membuatnya
tak tahan lagi. Di sebrang jalan, dia melihat mobil milik Billy menembus
dinding Kafe yang roboh. Hanya tampak sekilas wajah Billy dan Chris yang
berlumuran darah. Tubuhnya menggigil melihat mereka berdua. Ini adalah balasan
yang pantas sepertinya, meski dia pun membayangkan apa yang akan dia terima
malam ini.
Tommy bahkan seharusnya bukan korban. Kalau
dia mencintai Carrie secara sungguh-sungguh. Sue tak lagi peduli dengan
perpisahan yang begitu tiba-tiba seperti ini. Baru saja dia ingin menikmati
segelas susu hangat, kemudian bunyi alarm terdengar sehingga kepanikan
menyeruak. Namun, kini kota terasa sepi, hanya beberapa petikan api yang
membakar rumah dan suara rubuh rumah yang lapuk.
Momma,
aku takut.
Carrie semakin merasa ketakutan, nyeri di
bahunya tidak tertahankan. Kakinya terasa semakin berat. Dia membayangkan
sesuatu yang berdetak, berbentuk kecil, seperti darah. Senyumnya tersungging, ini hasil dari cewek Jalang. Ini dosa, kata
Momma ini adalah Dosa dari darah.
Sue merasakan nyeri dibagian perut bawahnya.
Dia meringis sambil memegang perut, sakit sekali hingga air matanya mengalir
dari sudut. Erangan kecil terdengar memilukan, tubuhnya ambruk seketika dengan
posisi seperti berdoa. Kemudian entah apa yang menggerakkannya kepalanya
tersungkur ke atas jalanan yang sudah berlumuran minyak dan air. Dia tak tahu
bagaimana mengubah posisinya, perutnya melilit tak tertahankan. Terus melilit
membuatnya berteriak sekencang-kencangnya.
“Carrie...hentikan!”
Rintihannya menggema dari sudut jalan. Dia
tahu pasti, Carrie-lah yang membuatnya merintih seperti ini. Entah bagaimana
dia mengetahuinya, sama seperti kau menemukan sebuah koin emas di tengah jalan.
Kau menemukannya begitu saja tanpa tahu darimana asalnya dan sebagainya.
Kau
memang anak iblis, Carrie!!
Makian dari Momma membuat Carrie kembali
menguatkan keberaniannya. Walaupun matanya sudah begitu perih tak bisa
menangis. Kekuatannya tak lagi bisa dibendung hingga dia sendiri tak tahu kapan
semua ini usai. Setelah melepaskan segumpal darah yang berdetak dalam perut
Sue, Carrie melanjutkan pikirannya. Memfokuskannya pada Pom Bensin yang berada
kurang lebih lima ratu meter dari tempatnya. Meledakannya hanya dengan sekali
kedipan.
Rintihan Sue berhenti, ketika nyeri tak lagi
dirasakannya. Dia kemudian bangkit dan berjalan meski tertatih-tatih. Tangannya
masih menyentuh perut bagian bawahnya, nafasnya tersengal-sengal akibat menahan
rasa sakit tadi. Dia harus mengikuti Carrie, harus. Karena Carrie adalah
penyebab semua ini, dia juga yang membunuh Tommy. Dan Sue tidak tahu mengapa
ada kewajiban untuknya dengan mengikuti Carrie. Setiap pertanyaan itu dia tepis
sambil menatap dengan sedih kondisi Kota yang semakin hancur. Banyak korban
yang tergeletak di tengah bahkan di pinggir jalan.
Mr. Raymond yang malang, matanya melotot
keatas, sementara Husky di sampingnya menggonggong memanggil majikannya.
Kematian yang begitu tragis, bahkan lengan kirinya masih memeluk sebagian tubuh
Husky yang sedang mengendus dan menjilati wajah Mr. Raymond. Sue bergidik ngeri
melihatnya.
Kini Carrie dan Sue berdiri tidak jauh, jarak
mereka mungkin hanya lima atau enam meter. Melihat sosok Carrie yang tersungkur
di atas jalanan, matanya menatap Sue dengan kosong. Namun pikiran yang ada
dalam otak Sue, berlalu lalang seakan dia bisa berpikir apa yang tengah ada
dalam otak Carrie.
Momma
aku takut.
Tidak,
semua ini benar, mereka memang Pendosa.
Carrie
kau menjijikkan!
Putaran ingatan masa lalu yang terus mendesing
bagai peluru dalam otak Sue membuatnya tak tahan. Dia berjalan terus melewati
Carrie yang tengah terbujur merasakan sakit yang luar biasa. Sue juga merasakan
nyeri itu, pada bahu kirinya, persis seperti pisau yang tertancap pada bahu
kiri Carrie. Dia berjalan tertatih, dadanya terasa kembang kempis seperti ada
yang menghimpitnya.
“Cukup Carrie!”
Bisik Sue sambil tak lagi mempedulikan Carrie
yang tengah menanti ajalnya. Sudah waktunya dia menjauh untuk memberikan
sedikit privacy untuknya. Memutar
kenangan yang memilukan, tidak hanya untuk Carrie tapi juga untuk Sue. Dia
telah melakukan perbuatan yang membuat dirinya seperti seorang monster.
Malam sudah beranjak pergi, pagi mungkin akan
segera datang. Sue berlari menuruni bukit, tak tahu ingin berlari kemana.
Meninggalkan Carrie White, juga Tommy kekasihnya yang kini sudah tak lagi
bernyawa.
**
“Telekinesis yang diderita Carrie White bisa
jadi merupakan Gen Resesif dari Margareth White, ibunya. Namun akan terlihat
ketika dia mengalami depresi atau tekanan yang sangat hebat. Bisa dilihat dari
kejadian yang tercatat dari saksi mata. Namun TK ini bukanlah suatu dosa
seperti apa yang Margareth katakan pada Carrie. Bahkan ini juga bukan kesalahan
murni dari Carrie White.”
Sidang komite White pun akhirnya ditutup
secara resmi. Meski luka pada Kota yang hampir punah atau mungkin sudah hancur.
Serta beberapa jiwa yang masih hidup dan memilih untuk menghabiskan waktunya
diantara puing reruntuhan kehancuran Kota mereka.
**
Ide
cerita dari Novel berjudul Carrie penulis Stephen King. Beberapa adegan adalah
tambahan hasil pengembangan novel tersebut.
Biodata singkat penulis :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik, sertakan juga nama dan link bagi pengguna platform lain. Terima kasih untuk waktunya telah singgah di sini.