Cinta itu Aneh
Cinta itu aneh, seketika dia bisa memunculkan
ribuan ide yang akan menggerogoti setiap pikiranmu untuk tak mengenal lelah
merangkai kata demi kata, aksara demi aksara, menguntai bait demi bait kemudian
mengubahnya menjadi puisi. Aneh sekali ketika Cinta bisa dengan mudahnya
seperti membalikkan telapak tangan, menjadikan seseorang yang tidak mengenal
puisi bahkan kini menjadi pujangga, penyair, penyajak dan pecinta segala macam
tetek bengek yang berkaitan dengan majas dan perumpamaan.
Kamu bagai
embun
Aku daun
Kita
berbagi cinta pada Pagi yang menua
Meski
aku tahu Cinta kita hanya sesaat
“Mulai lagi si Lutung ini sok dramatisir
suasana.” Genta teman sekelasku, dia duduk manis di sebelahku sambil menghirup
teh manis hangat sedikit demi sedikit. Aku menggeleng lemah, mengamati setiap
bulir hujan yang menempel dari balik kaca Kantin sekolah.
Aroma petrikor
yang khas ketika hujan, perpaduan antara bau lembab dan bau tanah yang basah.
Belum lagi aroma pisang goreng yang menyeruak membuat perutku seperti menari,
namun hujan tidak pernah lelah membangkitkan kenangan yang bahkan tak pernah
hilang dalam ingatanku. Kenangan yang membuatku menjadi seorang pecinta sepi,
penikmat sunyi, penonton senja dan teman setia sang malam.
“Kemaren gue ngeliat Dara, dia baru keluar
dari toko buku.” Aku berdehem sesaat, berusaha mengusir rasa sakit yang
seketika menyergapku ketika mendengar namanya disebut.
Entah apa hubungannya Dara, masa lalu dan rasa
sakit yang baru saja menggelitik di dalam hatiku. Dadaku seketika terasa nyeri,
aku bahkan sudah mencari tahu mengapa semua itu terasa tidak rasional. Tidak
tahu dimana benang merah dari semua ini. Bahkan guru Biologi hanya tertawa
ketika aku menanyakannya perihal Cinta dan rasa sakit.
“Jadi kapan elu bisa move on dari Dara?” Aku
melirik Genta dengan tatapan tajam, temanku ini tahu bahwa aku terganggu dengan
pertanyaannya.
“Buat gue, rasa benci lo sama Dara, enggak
bisa dikaitkan dengan langkah lo untuk move on.” Genta kembali menyeruput teh
manis hangatnya untuk yang terakhir. Meletakkan gelas dengan perlahan kemudian
bangkit dan melangkah pergi meninggalkanku sendirian.
Dari sejarah seorang Plato yang belajar
memahami apa itu cinta sehingga sering terkenal dengan konsep platonic, aku sadar bahwa Dara memang
Cinta pertamaku sama seperti pohon yang pernah dia bawa ketika menjalani ujian
dari sang guru. Kelas dua SMA, aku pertama kali menyukai dia, awalnya aku
berpikir hanya menyukainya. Tapi ternyata, cinta itu datang dan hadir. Mewarnai
setiap malam panjangku, mengganti mimpi burukku dengan keindahan dan
bunga-bunga, serta warna-warni yang kerap tak pernah bisa kukenali.
“Cinta itu anugrah yang Maha Kuasa.” Kembali
terngiang suaranya, yang pernah membuatku merasa sangat berdebar dan tak bisa
berpikir meski harus melahap rumus-rumus persamaan kuadrat.
Cinta
tak bisakah sejenak
Biarkan
aku lupa
Biarkan
otakku membeku
Dari
ingatan tentang dia
Entah sejak kapan aku mulai mengenal puisi,
mengenal rangkaian sajak yang semakin hari membuat otakku semakin rumit,
melebihi rumus Matematika Titik Tembus. Itu semua tidak pernah aku sadari
awalnya dan tak tahu kapan berakhir. Tapi aku mulai menikmati sepi ketika rindu
semakin membuatku terjerembab dalam wajan yang berwarna-warni. Para pecinta
biasa menyebutnya dengan bahasa yang aneh, yaitu rasa yang muncul ketika Cinta
dan Rindu tengah memadu kasih.
“Cinta itu seperti orang buta, dia berjalan
tanpa tahu kemana, dia tidak mengetahui warna, bentuk dan perbedaan antara
siang dan malam. Tapi ketika Cinta itu hadir, semua yang merasakannya bisa lupa
dengan semua itu.” Jawabmu ketika aku mengeluh mengapa aku setiap saat
melihatmu selalu saja merasa berdebar. Jawaban yang cukup panjang, melebihi
Rumus Kimia Pelepasan Oksigen.
Aku tahu semakin hari semakin tak bisa
berpisah darinya. Bahkan ketika harus mengakui bahwa kecemburuan tengah
menghabisiku tanpa ampun. Melihatmu berbincang dengan tenang dan santai bersama
Fahri, Ketua Osis yang memang sangat populer. Hatiku terasa sakit sekali waktu
itu, bahkan hingga hari ini, detik ini juga aku masih merasakan sakit.
“Kami hanya berbicara tentang ujian Bahasa
Indonesia. Kamu kenapa sih?” pertanyaan yang kamu lontarkan yang entah keberapa
kalinya. Karena aku tahu, kamu terus menerus bertanya mengapa aku tidak percaya
padanya.
“Aku percaya padamu, sungguh. Aku hanya tidak
percaya pada Fahri.” Jelasku saat itu.
“Kalau kamu enggak percaya sama Fahri, sama
saja kamu enggak percaya sama aku!” Sudah jelas, aku melihatnya menangis sore
itu di Halte Bis saat kami berdua menanti kendaraan yang akan datang untuk
menjemput dan membawa kami berpisah sementara untuk kemudian kembali bertemu di
keesokan hari.
Tapi hujan yang tampak begitu deras, serta
sunyi yang semerbak, bau pertrikor
yang berpadu dengan aroma pisang goreng, mereka menjadi saksi pertengkaran
kecil kami. Dara menangis, tubuhnya terguncang karena menahan tangisnya agar
tidak tumpah bersama air hujan. Aku masih mengepal tanganku, menahan amarah,
tak tahu lagi mengapa dadaku rasanya ingin pecah karena benci pada diriku
sendiri.
“Kalau begitu kita putus saja, Ren.” Setelah
satu jam sunyi yang bernyanyi, akhirnya dia angkat bicara. Namun itu justru
menggoyahkan pertahananku yang memang sudah menipis. Aku duduk tertegun bahkan
tak menyadari saat dirinya melangkah pergi meninggalkanku.
Biasanya Halte Bis tempat yang menjadi
perpisahan sementara aku dan dia, tapi hari itu, kala hujan semakin deras dan
gemuruh langit menertawakanku. Perpisahan hari itu, adalah untuk selamanya.
Dan semenjak saat itu aku menyadari bahwa
Cinta itu aneh. Seketika saja bisa membuatku berdegup kencang, kemudian
menyeretku paksa untuk menikmati rindu, barulah menjerumuskanku pada lubang
bernama cemburu yang diikuti dengan kenyataan pahit, bahwa perpisahan justru
mencampur adukkan semua itu menjadi satu.
Kapan
aku bisa move on? Bahkan kata hatiku sendiri tidak
mempercayai usahaku setiap harinya. Sudah tiga bulan semenjak kami putus, Dara
bahkan tidak pernah menyapaku, kami bagai orang asing. Setahun kami menjalin
kasih dan berpisah hanya karena cemburu yang membabi buta memberontak. Tapi
karena Cinta itu, aku mengenal Sepi dan Sajak, Sunyi dan Puisi. Tak hanya
melulu Rumus persamaan kuadrat dan phitagoras.
Lagu
rindu haru segera usai
Seperti
derai hujan yang semakin menipis
Rinainya
tak lagi lebat
Tapi
memberi ruang dan celah untuk berlari
Rendi –
catatan kala hujan.
--------------- Selesai ------------------------
Created by : IpehAlena
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik, sertakan juga nama dan link bagi pengguna platform lain. Terima kasih untuk waktunya telah singgah di sini.