Pandawa
“Hidup ini panggung sandiwara.” Kata Arjuna
dengan wajah yang sok manis.
Keempat temannya hanya bisa memutar bola mata
mereka karena bosan dengan perilakunya yang suka menebar pesona.
“Tapi, kehidupan ini tidak lebih dari tokoh fiksi
yang berharap menjadi nyata,” sahut Sadewa sambil menyandarkan lengannya pada
Nakula, saudara kembarnya.
“Namun kenyataannya semua drama dan sinetron
yang tersaji, bentuk dari perwakilan kehidupan itu sendiri.” Yudi menambahkan,
matanya tak lepas dari lembar poster yang tertempel di dinding.
“Bedebah kalian. Memusingkan tentang hidup.
Hidup itu terlalu singkat untuk dijadikan perbincangan seperti ini.” Bima
memandang tongkat yang berada di sudut ruangan.
Berusaha menggerakannya dengan
pikiran, sedikit bergerak namun tak terlihat dengan nyata.
“Tapi hidup itu tak akan pernah berarti meski
kita menikmatinya. Bukankah akan lebih sempurna jika kehidupan itu berisi
dengan segala macam manfaat dan perenungan?” Akhirnya Nakula angkat bicara,
menengahi bincang siang mereka.
Mereka berlima menikmati teriknya siang hari
yang sunyi. Keadaan gedung itu sepi, dengan tembok yang tercoret-coret, bekas
gosong karena terbakar serta atap yang hampir rubuh. Di sana tempat mereka
bersemayam tanpa terganggu.
“Kita ini Dewa.” Mendengar perkataan Arjuna,
Bima tertawa terbahak-bahak. Namun terdengar lirih dan melengking.
“Kita cuma sosok dari kehidupan lain yang
berdampingan.” Tidak lama mereka menghilang sempurna tanpa jejak.
Credit by duniatentangaksara
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik, sertakan juga nama dan link bagi pengguna platform lain. Terima kasih untuk waktunya telah singgah di sini.